Salah satu sasaran bidik mutakhir dari
sinetron masa kini adalah remaja. Kalau dulu yang namanya sinetron itu identik
dengan ibu-ibu atau bahkan pembantu rumah tangga, maka sekarang remaja usia ABG
pun mereka jadikan ‘mangsa’.Kini menjamur sinetron yang latar belakangnya
adalah kisah percintaan sepasang manusia yang usianya masih remaja ; masih SMA,
bahkan ada juga yang SMP.
Bukan sinetron saja. Masalah
percintaan kaum remaja memang tidak ada habis-habisnya dieksploitasi oleh para
raksasa industri. Valentine dijadikan ajang untuk menjual habis barang
dagangan, dengan sasaran utamanya adalah kaum remaja.Siapa korban terbanyak
dari Britney Spears? Tidak lain dan tidak bukan adalah kaum
remaja. Siapa yang merasakan dampak besar akibat merebaknya
pornografi? Ternyata kaum remaja juga. Jadi dengan mudah kita dapat
menyimpulkan bahwa menjadi remaja di jaman sekarang ini memang runyamnya minta
ampun!
Masalahnya (menurut saya) hanya satu :
kaum remaja seringkali tidak punya pegangan. Di satu sisi ia baru saja
beranjak dari usia kanak-kanak, di mana pada masa-masa itu ia hanya menggunakan
satu logika, yaitu meniru. Di sisi lain, ia juga baru mulai menjajaki
kehidupan orang dewasa yang penuh dengan pilihan dan terbukanya akses-akses
yang sebelumnya tidak bisa dibuka. Repotnya lagi, pada usia ini pulalah
muncul keinginan untuk memberontak, baik pada orang tua, guru, atau tatanan
nilai-nilai adat dan agama. Kecuali aturan Allah SWT, segalanya memang
boleh dikritisi. Namun apakah semua harus dilawan? Inilah salah satu
godaan terbesar yang dialami oleh setiap manusia ketika menginjak masa usia
remaja.
Akhirnya, alih-alih melakukan sesuatu
yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, kaum remaja justru seringkali mencederai
kepentingannya sendiri. Karena kesal pada orang tua yang selalu menyuruh
belajar (misalnya dengan memberi target rangking, menyuruh anak belajar di
bimbel plus belajar privat di rumah), maka ia ‘membalasnya’ di sekolah,
misalnya dengan bolos, dan berbagai kenakalan lainnya. Sebenarnya sedikit
sekali remaja yang benar-benar nakal. Sebagian besar hanya marah, dan
kebingungan bagaimana harus menyalurkan amarahnya.
Dengan prinsip ‘tampil beda’, akhirnya
kaum remaja justru ‘tampil seragam’.Waktu saya kelas 2-3 SMP dahulu, siswi
sekolah sedang gandrung sepatu ‘Doc Mart’. Sekarang, rata-rata kaus
kakinya tinggi seperti pemain sepak bola, dan panjang baju seragamnya pas
sampai di pinggang. Dulu sekali, orang-orang beramai-ramai mengkeritingkan
rambutnya. Sekarang, yang ikal pun ingin rambut lurus. Kalau dulu
kekekaran tubuh dan ke-macho-an pribadi adalah kebanggaan para siswa,
sekarang mereka malah tampil sekurus mungkin, dengan gaya rambut yang aneh
meniru-niru Good Charlotte dan band punk semacamnya. Mereka memang mengaku
ingin tampil beda, tapi di mata orang lain, mereka justru tak berkarakter sama
sekali. Inilah ‘sisa-sisa’ logika meniru yang masih mereka pakai dari masa
kanak-kanak.
Pada usia ini pula manusia cenderung
melakukan hal-hal yang akan disesalinya kemudian. Masalahnya, mereka tidak
melakukannya dengan niat yang tepat.Berbuat salah itu biasa bagi siapa pun,
namun ada kalanya seorang remaja melakukan sesuatu yang salah menurut akalnya,
namun ia tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya. Kadang mereka
melakukannya untuk mencari perhatian, kadang hanya demi pembalasan, meskipun
nyaris selalu salah sasaran.
Pada prinsipnya kaum remaja seringkali
merasa kesepian. Mereka merasa orang tuanya tidak memahami keadaan dirinya
(dan kalau mau jujur, orang tua memang seringkali lupa dengan kondisi jiwa kaum
remaja), apalagi gurunya. Maka mereka pun berpaling pada teman-teman
sebayanya dan orang-orang yang mereka idolakan. Jika teman-temannya
merokok, maka mereka pun tergoda untuk merokok. Jika artis Hollywood
pujaan hatinya menjunjung tinggi seks bebas, maka perzinaan pun tidak tabu lagi
di matanya.
Adalah sebuah ironi yang tak terperi
ketika saya menyadari bahwa kaum remaja selalu ingin dimengerti, namun mereka
sendiri seringkali tidak mengerti dirinya sendiri. Mereka mencari-cari
identitas dirinya ‘keluar’, padahal mereka seharusnya duduk dan mencarinya ‘di
dalam’. Mereka melihat-lihat identitas orang lain dan mencoba menerapkannya
pada diri sendiri dengan logika trial and erroryang sangat
menyedihkan. Padahal sunnatullaah berlaku sampai kapan
pun : manusia tidak menghormati seorang copycat ! Anda
bisa dengan mudah tampil keren, tapi terhormat itu urusan lain lagi.
Kembali pada masalah cinta, khususnya
cinta remaja.
Kaum remaja seringkali tidak menyadari
keadaan dirinya sendiri yang masih sangat labil dan amat dipengaruhi oleh ego
pribadi. Kondisi yang demikian ini adalah kondisi yang paling tidak ideal
untuk berkecimpung dalam masalah percintaan. Itulah sebabnya, meskipun
sinetron-sinetron menggambarkan sebaliknya, namun drama percintaan yang dialami
oleh kaum remaja lebih sering kandas di tengah jalan daripada berlanjut menuju
akhir yang baik.
Jika bicara masalah cinta, yang
seringkali muncul dalam perbincangan adalah ucapan-ucapan seperti :
·
“Kamu kok nggak ngertiin aku...”
·
“Aku ingin...”
·
“....pasangan yang bisa membahagiakan
aku.”
Kata-kata yang saya tebalkan dapat
dengan mudah menunjukkan adanya campur tangan ego dalam kadar yang cukup
tinggi. Sekali lagi, ini adalah racun dalam urusan
cinta-cintaan. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari.
Bagi seorang Muslim, hidup bukan untuk
diri sendiri. Jangan bicara kasih sayang kalau masih memikirkan diri
sendiri, dan jangan ngomong cinta kalau tidak mau mendahulukan
pasangan. Dengan demikian, kalau memang mau bicara cinta, maka seorang
remaja harus rela terlebih dahulu untuk melepaskan logika kanak-kanaknya dan
melangkah lebih jauh dengan logika orang dewasa. Dan untuk menjadi dewasa,
tentu saja, butuh waktu.
Hargailah waktu.